17 Dec 2014

Dublin dan Fragmen-Fragmen

Kalau saya harus mendeskripsikan masa-masa berseragam putih biru dalam tiga kata, maka saya akan memilih kata-kata ini: buku harian, impian dan Westlife. Di masa ini saya mulai menumbuhkan kebiasaan menulis di buku harian yang sebagian besar isinya adalah tentang mimpi-mimpi. Di masa ini pula saya mengalami fase wajib remaja generasi 90an: menjadi fans boyband yang saat itu sedang trend. Entah kenapa, saya jatuh cinta dengan Westlife. Hampir seluruh dinding kamar saya penuh dengan poster dan pin up mereka, standing image ke-5 personilnya berjajar di atas meja, dan di rak buku, album-albumnya tersusun rapi bersama tumpukan majalah edisi khusus Westlife. 

Sudah 14 tahun sejak saya menyanyikan "Swear It Again" di ujian praktek kesenian SMP, tapi tetap saja, kadang saya masih memutar kembali lagu-lagu mereka dan mengenang masa-masa berseragam putih biru. Sekarang saya sedang di Dublin, mendengarkan lagu-lagu Westlife (seperti yang saya inginkan di bucket list no. 10) dan bertanya-tanya dimana kira-kira di kota ini Nicky Byrne tinggal. Ah, tapi tentu saja bertemu Nicky tidak sesederhana pertemuan Jonathan Trager dan Sara Thomas di film 'Serendipity'. Kalau dulu, melihat konser Westlife di Jakarta dari layar RCTI sudah lebih dari cukup, maka dua hari ini, berkeliling kota Dublin membawa perasaan "Nicky juga pernah disini..." rasanya juga sudah lebih dari cukup.

Mungkin Dublin harus dibawa sampai level personal seperti ini sehingga bisa dinikmati. Bagaimanapun kota ini bukanlah kota yang akan membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama. Kota ini bukanlah tempat yang akan membuatmu tercengang atau mendesahkan nafas panjang saking kagumnya. Tapi jika kamu penggemar Westlife, Boyzone, The Corrs atau U2, bagaimanapun kamu akan merasakan ikatan pada kota ini. Atau jika kamu, seperti teman saya, pengagum karya-karya James Joyce, maka Dublin menawarkan ikatan pada kisah-kisah di Dubliners dan Ulysses.

Dublin menawarkan kenangan yang tersebar acak di seluruh kota.

Menyandang gelar UNESCO City of Literature, Dublin memiliki tempat tersendiri di hati para penggemar sastra. Empat nama besar penerima Nobel Sastra diasosiasikan dengan kota ini: Bernard Shaw, W.B. Yeats, Seamus Henney dan Samuel Beckett. Jika kamu suka, di kota ini kamu bisa mengikuti jejak-jejak James Joyce atau Oscar Wilde. Kami sempat melihat rumah tempat Oscar Wilde dilahirkan dan rumah tempat dia tinggal setelahnya. Keduanya berdekatan di sekitar Merrion Square tempat Oscar Wilde memorial statue, yang sayangnya saya lewatkan. Mungkin kota ini tahu saya belum khatam membaca The Pictures of Dorian Gray.

Dublin memang beraroma sastra: toko buku independen masih banyak berdiri dan potongan-potongan puisi seperti jadi dekorasi. Bahkan aktivitas seperti pub-crawl pun akan jadi sangat sastrawi karena beberapa pub disebut dalam novel-novel klasik. Pub-pub itu tidak hanya muncul dalam novel, tapi bahkan menjadi tempat para penulis itu menghabiskan waktunya, mungkin dengan bir Guinness atau whiski Jameson. Kami mengunjungi The Braven Head yang katanya pub tertua di Dublin dan dimunculkan oleh James Joyce dalam novel Ulysses. 

Di kota ini pula The Books of Kells berada. Empat kitab Injil dalam bahasa latin yang ditulis dengan detail menakjubkan dipamerkan di Trinity College Library. Kami sudah cukup puas mengunjungi Trinity College tanpa melihat 'karya sastra' ini, alasannya waktu yang kami punya tidak sebanding dengan nominal tiket masuk ke Library.  Saya juga tidak sempat ke James Joyce Tower, yang ternyata terletak di Sandycove, kawasan sub urban Dublin yang harus ditempuh dengan bis selama satu jam. Bahkan Patung James Joyce pun tidak sempat saya kunjungi, padahal saya sudah membawa novel Dubliners. Kota ini sepertinya juga tahu saya belum membaca satupun novel James Joyce dan tidak cukup layak menggali kenangan tentangnya.

Kalau ikatanmu bukan pada sastra, tapi pada lukisan, National Gallery of Ireland cukup menarik untuk dikunjungi. Tapi mungkin sastra sudah begitu merasuki kota ini, sehingga untuk memperingati 150 tahun Gallery ini diadakanlah Lines of Vision: the Irish Writers at the National Gallery. Di pameran ini, dipamerkan lukisan yang menjadi inspirasi para penulis Irlandia. Disini, saya baru tahu kalau John Boyne adalah orang Irlandia, padahal dia adalah salah satu pria yang membuat saya patah hati. Novelnya The Boys in the Striped Pyjamas membuat saya menangis di akhir cerita dan kesedihan itu tinggal sampai berhari-hari.

Saya cukup senang menemukan satu lukisan Claude Monet di gallery ini, Argenteuil Basin with a Single Sailboat yang dilukis than 1874. Lukisan ini mengingatkan saya pada salah satu buku dari Nh Dini berjudul Argenteuil: Hidup Memisahkan Diri. Mungkin menarik juga untuk mengunjungi Argenteuil kalau nanti saya punya kesempatan kembali ke Perancis, karena ternyata kota dekat Paris ini termasuk yang paling sering diabadikan Monet di lukisan-lukisannya.

Saya tidak tahu banyak tentang lukisan, tapi ada beberapa yang membuat emosi saya tergerak, gejala yang sama ketika saya membaca puisi Sapardi Djoko Damono atau Acep Zamzam Noor. Mungkin karena itu saya menyukai lukisan impressionist atau post-impressionist, karena terkesan lembut seperti puisi Sapardi dan Acep. Di gallery ini saya jatuh cinta dengan lukisan paling sederhana tapi magis yang pernah saya temui, Moonlight karya Paul Henry. Ini hanyalah lukisan bulan dan laut, tapi gradasi warna biru yang manis dan bayangan bulan terpantul di air seperti mengingatkan kita pada masa-masa yang tenang. 

Tapi bagaimanapun, kalau kamu merasa lukisan dan sastra terlalu sunyi, di Dublin kamu bisa bermain-main dengan bir dan whiski. Guinness Storehouse atau Jameson Distillery bisa jadi pilihan yang menyenangkan, begitu juga dengan Irish Whiskey Museum. Kota ini dan gentong-gentong bir sepertinya memang tidak terpisahkan. Kalau memungkinkan, menepilah ke restoran atau kafe-kafe menyenangkan yang tersebar di seluruh kota, segelas Irish beef stew dan segelas Guinness akan jadi penutup hari yang sempurna.

***

Dublin seperti resepsi yang menawarkan banyak menu pilihan, kamu tidak bisa bersikeras mencoba semua yang ditawarkan. Kadang yang terbaik justru didapat ketika kita berani menentukan pilihan. 

Saya akan kembali ke Dublin. Tapi kali ini hanya untuk sastra. Mungkin April tahun depan, bertepatan dengan festival Dublin: One City, One Book, inisiatif Dublin City Council agar warganya membaca satu buku terkait Dublin selama bulan April setiap tahun. Untuk tahun 2015 buku pilihannya adalah The Barrytown Trilogy karya Roddy Doyle. Bulan April nanti semoga saya juga sudah membaca karya-karya Joyce sehingga napak tilas James Joyce akan kontekstual. 

Dan rupanya Nicky Westlife sekarang menjadi penyiar RTE radio di Dublin. Di salah satu portal berita dia bercerita kalau beberapa fans wanita masih sering menemuinya di RTE. Well, saya tidak tahu apakah saya cukup berani melakukan hal yang sama...

Tapi mungkin saja.